Tuesday, January 19, 2016

Berburu Makanan dan Minuman Murah di Tokyo

Banyak yang bilang kalau Tokyo adalah kota dengan biaya hidup termahal di dunia, termasuk dalam hal makanan. Pendapat tersebut memang ada benarnya, terutama bagi pendatang baru yang belum terbiasa dengan kehidupan di Jepang. Untuk sekali makan, umumnya kita harus merogoh kocek sekitar 500 - 1000 yen, kalau dikurskan ke Rupiah kasarnya sekitar 50 - 100 ribu. Angka tersebut bisa bertambah tinggi, kalau kita makan di restoran atau rumah makan, terutama yang menyuguhkan makanan impor.

Namun, bukan berarti kita harus selalu merogoh kocek dalam-dalam hanya untuk sekedar makan ya. Alhamdulillah, saya sudah beberapa kali berkunjung ke negeri Sakura ini, dan berdasarkan pengalaman, saya jadi tahu bahwa dengan sedikit trik, kita bisa makan kenyang 3x sehari hanya dengan ongkos di bawah 1000 yen.

Tulisan ini lebih ditujukan untuk traveler atau pendatang baru yang sekedar berkunjung dalam waktu singkat ke Tokyo. Kalau anda ingin menetap dalam waktu lama untuk sekolah atau bekerja di Jepang, ya mungkin pilihan terbaik adalah memasak sendiri.

#1 Makan di warung kecil
Salah satu cara menghemat pengeluaran dalam hal makanan adalah dengan menyesuaikan gaya hidup orang di Jepang. Sama seperti di Indonesia, orang Jepang umumnya tidak terlalu suka makan di restoran atau rumah makan besar. Kalau di Indonesia ada warteg pinggir jalan, maka di Jepang ada banyak warung soba, udon atau gyumeshi (rice bowl dengan irisan daging sapi di atasnya) di pinggir jalan di Tokyo. Umumnya menu paling murah di warung-warung ini berkisar antara 200 - 300an yen, dan anda bisa mendapat air putih gratis. Warung-warung ini juga biasa buka di mall, dan sebagian sudah ada yang membuka cabang di Indonesia, misalnya Yoshinoya.

Gyumeshi
Salah satu warung makan yang jadi favorit saya adalah Matsuya, di mana kita bisa makan gyumeshi seharga 330 yen dengan bonus semangkuk sop miso dan air putih gratis (kalau makan di tempat). Itu sudah lebih murah daripada makan di restoran fastfood dengan menu yang sama di Indonesia.

#2 Belanja makanan/minuman di supermarket daripada convenient store atau vending machine
Convenient store (7eleven, Lawson dll) dan vending machine adalah dua dari sekian banyak hal yang paling menarik dalam kehidupan di Jepang. Walaupun menawarkan banyak kenyamanan, namun belanja di convenient store dan vending machine bisa menguras isi kantong, kalau tidak hati-hati. 

Di sisi lain, supermarket di Jepang umumnya menjual makanan/minuman dengan harga yang lebih murah, bahkan dalam beberapa hal, bisa dibilang kelewat murah. Misalnya saja, untuk sebotol air mineral 200 ml, harganya berkisar antara 100 - 120 yen di convenient store atau vending machine. Sedangkan kalau membeli di supermarket, kita bisa mendapatkan air mineral ukuran 1000 ml (yup, 5x lipatnya) dengan harga 75 yen saja.

Ayam goreng separuh harga
Namun, yang menurut saya paling menarik adalah diskon makanan siap saji. Biasanya supermarket akan memberikan diskon untuk makanan-makanan siap saji yang mendekati tanggal kadaluarsa. Misalnya ayam goreng yang akan kadaluarsa lusa akan mendapat diskon 30%. Untuk makanan yang akan kadaluarsa besok, diskonnya bisa mencapai 50%. Diskon ini biasanya diberikan ketika supermarket hendak tutup, umumnya setelah jam 8 malam. Jadi jangan heran kalau menjelang tutup, supermarket di Jepang malah rame oleh orang-orang yang berburu makanan diskon.

#3 Toko 100 yen
Umumnya banyak dijumpai di sekitar stasiun, dan sesuai namanya, barang-barang yang dijual di toko ini harganya hanya sekitar 100 yen (biasanya lebih dikit), termasuk makanan dan minuman. Toko 100 yen paling terkenal di Jepang adalah 100 Yen Shop dan Daiso. 

Snack yang dijual di toko 100 yen (foto dikutip dari : http://heart-2-heart-online.com/2009/01/14/100-yen-store/)
Biasanya jenis makanan yang dijual di sini adalah makanan ringan seperti snack atau permen. Kualitas dan pilihannya memang masih di bawah supermarket atau convenient store, namun dengan harga 100 yen, tentunya bisa sangat menghemat isi kantong. Karena harganya yang super murah, toko-toko 100 yen umumnya menjadi pilihan utama sebagai tempat mencari oleh-oleh atau sekedar cari makanan ringan untuk mengisi waktu senggang.

Tuesday, January 12, 2016

Cerita Monbukagakusho #9 - Pengumuman Penempatan Universitas

Rabu, 6 Januari 2016, mungkin akan jadi salah satu hari yang paling saya ingat seumur hidup. Hari itu, saya mendapat kabar gembira dan kabar duka sekaligus.

Kabar dukanya, putri bapak penjaga kos meninggal di RSCM setelah berjuang kurang lebih sebulan, akibat penyakit anemia aplastik yang konon tergolong salah satu penyakit langka. Saya sebenarnya tidak begitu sering bergaul dengan almarhumah, tapi lumayan akrab dengan bapaknya. Sebagai salah satu penghuni kos paling lama, saya menyaksikan anak itu tumbuh dari awal masuk SD, sampai akhirnya terakhir kali bertemu ketika hendak dibawa ke rumah sakit akhir Desember lalu. Jadi, terus terang saya kaget dan setengah nggak percaya waktu kabar duka itu datang.

Kabar gembiranya, akhirnya pengumuman penempatan universitas dari kedutaan/MEXT dirilis. Saya termasuk dalam 31 orang yang mendapatkan pengumuman gelombang pertama. Sisanya yang 4 orang menunggu pengumuman gelombang kedua. Dan universitas yang menjadi tempat saya riset dan menempa ilmu adalah ... University of Tokyo (Todai) !

Jujur saja, saya menerima hasil pengumuman ini dengan sedikit rasa takut dan cemas. Hingga tulisan ini dibuat, saya belum menerima konfirmasi apapun dari Todai maupun profesor saya. Padahal beberapa rekan yang juga diterima di Todai (tapi beda fakultas) mengaku sudah dihubungi untuk akomodasi di Tokyo. Dan menurut beberapa sumber, akomodasi adalah salah satu hal terpenting yang harus segera diurus bila ingin sekolah di Jepang, terutama Tokyo yang biaya hidupnya selangit. Selain itu, saya juga termasuk sebagian awardee monbusho yang tidak mendapat kursus bahasa Jepang, mungkin karena kelas doktor yang saya incar hanya menggunakan bahasa Inggris.

Nevertheless, saya tetap senang dengan hasil penempatan ini. Itu artinya separuh mimpi saya untuk sekolah di Jepang sudah tercapai.

Tanggal 10 Januari 2016, saya dikirimi "Individual Acceptance Certificate" oleh kedubes Jepang. Saya belum tahu persis apa kegunaan dokumen ini, tapi tampaknya ini adalah semacam sertifikat yang menandakan kalau kita sudah resmi menjadi penerima beasiswa MEXT.


Pengumuman penempatan universitas ini bisa dibilang adalah tahap akhir dari proses seleksi monbusho tahun 2015. Setelah proses yang cukup melelahkan sejak April 2015, akhirnya saya sudah hampir sampai garis finish, setidaknya untuk tahap perburuan beasiswa. 

Perjuangan berat berikutnya sudah menanti, mulai dari mengurus dokumen kepindahan dari Indonesia ke Jepang, mengurus paspor, visa dan resident document istri yang akan menemani saya selama studi dan tentu saja: saya masih harus mengikuti test GRE dan test masuk untuk program PhD Todai tahun depan. 

Benar-benar tugas berat, tapi ini lah jalan yang sudah saya pilih, dan Alhamdulillah, Allah memberikan kemudahan untuk saya sejak awal pendaftaran beasiswa hingga pengumuman akhir, Jadi saya akan habis-habisan tahun ini untuk mencapai semua yang sudah saya cita-citakan sebelumnya: menjadi seorang PhD dari Todai, perguruan tinggi terbaik di Asia.

Terima kasih untuk istriku tersayang, Firdana Ayu Rahmawati, yang sejak awal sudah mendukung dan rela mengorbankan karirnya untuk menemani studi ke Jepang. Semoga cita-cita kita tercapai ya sayang ...

Tak lupa juga ucapan terima kasih untuk kedua orang tua dan adik-adikku terkasih, untuk semua doa yang dicurahkan sejak awal hingga akhir. Maafkan anakmu/kakakmu ini, sudah jarang pulang kampung, malah sekarang mau merantau jauh lagi ...

Terima kasih juga untuk para atasan saya di UPT Hujan Buatan BPPT: Pak Erwin, Pak Seto dan Pak Heru yang selalu mendukung rencana studi saya ke Jepang.

Dan tentu saja, terima kasih untuk semua teman-teman yang selalu mendukung dan menjadi tempat konsultasi sekaligus tempat curhat saya selama proses aplikasi beasiswa monbusho.

Banzai !! :-)